Penerbit: Noura Books
Penulis : Khrisna Pabhicara
Harga: Rp64.500,-
SINOPSIS
Makian dan bentakan para tentara terdengar membelah malam.
Dadaku mulai sesak. Kakiku panas. Tubuhku memberat.
Sebab menoleh sambil berlari, aku tergelincir. Tubuhku meluncur deras ke arah jurang.
Lenganku menabrak akar pohon. Lalu, segalanya menjadi gelap.
Dikejar-kejar tentara tidak pernah ada dalam rencana Dahlan muda. Awalnya, Dahlan ke Samarinda untuk menuntut ilmu. Sayang, teori tak sejalan dengan kenyataan. Dosen-dosen yang otoriter dan keadaan politik yang memanas membuat perkuliahan tidak lancar. Belum lagi, kerinduannya yang besar terhadap kampung halaman dan orang-orang terkasih yang selalu menyesakkan dada, membuat hidup di rantau terasa semakin berat.
Dahlan pun memutuskan berhenti kuliah. Dia aktif dalam kegiatan kemahasiswaan yang kemudian menyeretnya pada Peristiwa Malapetaka Lima belas Januari—Malari. Tugu Nasional menjadi saksi keberanian serta kepedulian Dahlan dan rekan-rekannya terhadap negeri yang kacau balau kala itu. Dianggap memberontak, mereka pun menjadi buronan pemerintah. Tak disangka, dalam perlariannya, takdir mempertemukan Dahlan dengan dua cinta baru dalam hidupnya: Perempuan dari Loa Kulu dan Surat Kabar.
Endorsement:
"Rangkaian kalimat bersahaja yang begitu bening mengalirkan pesan. Kekuatan cerita dibahasakan penuh kerendahhatian. Kita mendapatkan banyak nilai tanpa merasa dijejalkan nilai."
—Alberthiene Endah, penulis
“Novel ini sangat inspiratif dan layak dibaca oleh setiap kalangan, khususnya kaum muda Indonesia ...”
–Sandiaga S. Uno, Wirausahawan
Novel Mas Dahlan ini … akan membujuk kita untuk menyelenggarakan hidup atas dasar suara hati.”
—Sujiwo Tejo, Presiden Jancukers
“Dahlan Iskan mampu menularkan inspirasi kepada orang-orang yang bahkan tidak pernah dia temui. Saya pribadi, susah membayangkan tanpa spirit, seorang Dahlan Iskan bisa menjadikan jalan pena sebagai pilihan. Tulisan-tulisannya, bukan hanya memberi rekreasi jiwa, melainkan juga asupan gizi yang tak terperi. Surat Dahlan menceritakan dengan bidikan yang tepat, bagaimana jalan pena itu berawal. Heroik!”
—Tasaro GK, novelis trilogi Muhammad saw, mantan wartawan Radar Bogor (Jawa Pos Grup).
“Membaca buku ini, saya jadi ingat dengan kata-kata Pak Bos–panggilan Pak Dahlan di internal Jawa Pos. ’Rasa takut paling besar yakni meninggalkan kampung halaman. Karena harus berpisah dengan saudara, tetangga, teman sepermainan hingga berbagai ketenangan tanah kelahiran’. Pak Bos melawan rasa takut itu dengan merantau ke Samarinda. Dahlan muda meninggalkan semua ketenangan Kebon Dalem, termasuk berpisah dengan ayahandanya yang selalu memberi inspirasi. Pergulatan hidup di tanah rantau yang serba terbatas itu, menjadi titik penting pembentukan karakter kerja keras dan kepemimpinannya.”
—Taufik Lamade,redaktur senior Jawa Pos
''Di balik kesehatan fisiknya yang ringkih, Dahlan Iskan menampung banyak sekali harapan publik tentang kepemimpinan. Banyak orang menawarkan diri menjadi pemimpin dan merasa mampu menjadi pemimpin dan tidak malu berjanji bisa memimpin, tetapi jejak kepemimpinan itu rendah sekali di dalam kenyataan. Dahlan Iskan adalah sedikit dari para pembuat perkecualian. Ia tidak meminta jabatan, tetapi ia dilamar oleh jabatan, sebuah kelangkaan yang membuat publik terpesona dan akhirnya mencintainya. Mencintai pemimpinnya, adalah kerinduan terbesar masyarakat Indonesia di hari-hari ini karena berkali-kali rakyat dibuat patah hati. Dan novel ini adalah gambaran kenapa seorang Dahlan menjadi figur yang menyedot perhatian publik.''
—Prie GS, budayawan, pembicara publik, tinggal di Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar